Mengurai Kemacetan

Jakarta tak pernah mati. Tak kenal siang atau malam, padatnya Jakarta seolah tak bisa dihentikan. Ribuan nyawa bergelut dengan nasib, berkejaran dengan waktu. Tiap-tiap kepala memiliki tujuan yang sedang diperjuangkan. Seorang ayah yang berjuang untuk keluarga kecilnya, seorang ibu muda yang tertatih menjalani peran barunya, seorang anak yang menjadi tulang punggung keluarga, seorang pria atau wanita yang kesepian karena tak juga bertemu tambatan hatinya, seorang yang sedang frustasi karena tak kunjung menyelesaikan skripsinya, seorang yang mulai bosan melamar kerja tanpa ada panggilan wawancara, dan masih banyak orang-orang lain dengan segala problematika hidupnya. Setiap orang, tidak hanya di Jakarta, sedang berjuang menjalani hidup terbaiknya.

Sudah menjadi hal biasa ketika aku harus berkawan dengan kemacetan setiap kali jam berangkat atau pulang kantor. Seperti yang ku bilang diawal, Jakarta memang tak pernah mati. Mungkin berkah yang ku dapatkan ketika harus bersabar dalam kemacetan adalah aku bisa membiarkan pikiranku melayang sesaat. Aku perhatikan sekelilingku, nampak orang-orang dengan wajah lelah sekalipun masih pagi. Ada yang tertidur nyaman dalam taksi, ada pula yang berdiri sampai kram di dalam KRL. Tak sedikit juga yang matanya kosong meski setir motor sedang dalam kendalinya. Beruntunglah bagi orang-orang yang sempat lari pagi dengan wajah segar, sepertinya ini bukan golongan orang biasa. Pada umumnya, pegawai kantoran akan berkejaran dengan waktu pagi hari. Jika orang tersebut masih sempat lari disaat orang lain sedang mengejar absen, maka orang tersebut berasal dari kasta yang berbeda. Entahlah, untuk golongan ini cukup membuat iri. Meski udara di Jakarta tidak bersih-bersih amat, tapi setidaknya mereka masih sempat berkeringat karena olahraga disaat yang lain berkeringat karena kemacetan.

Kejadian yang sama juga berlaku sore hari, disaat jam pulang kantor. Hanya bedanya, orang-orang tampak lebih lusuh. Jakarta ini memang menjengkelkan. Banyak orang yang rela mengadu nasib di Jakarta demi sebuah peluang yang lebih baik, seperti aku. Tetapi, penghasilan di Jakarta juga nyatanya bersaing dengan biaya hidup. Biaya hidup ya, bukan gaya hidup. Ya, untuk biaya hidup di Jakarta itu besar. Apalagi jika ditambah dengan gaya hidup yang tinggi, tentu berkali-kali lipat besarnya. Untuk ukuran pekerja biasa, harus hemat-hemat atau menambah penghasilan dari pekerjaan sampingan. Tapi sebenarnya, bisa saja mencari alternatif-alternatif untuk menekan pengeluaran. Bisa, tentu bisa.

Sebagai seseorang yang sedang mempertaruhkan nasib di Jakarta, tentu aku berusaha sebaik mungkin untuk menjaga kestabilan hidup. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin aku explore. Tapi, aku harus bisa membagi waktu dengan bijak antara pekerjaan utama, sampingan, keluarga, dan untuk diri sendiri. Dua minggu terakhir ini terasa lebih padat, hingga akhirnya tubuhku meronta menuntut haknya. Aku sedikit sakit, iya hanya sedikit tapi ternyata cukup mengangguku untuk menjalani jadwal yang telah ku susun rapi setiap harinya. Meski dalam kondisi yang tak baik, aku bersyukur masih bisa beraktifitas seperti biasa. Sebenarnya, aku telah mengizinkan tubuhku jika dia memilih sakit. Sungguh, kali ini aku tak mau menahan-nahan jika aku harus sakit. Tapi nyatanya, dia lebih kuat dari yang aku kira. Bahkan, sempat beberapa kali aku harus pulang larut malam dan ternyata aku masih bisa bertahan. Hal ini semata-mata karena Tuhan masih baik kepadaku. Aku sangat bersyukur. Tapi, aku tak bisa membohongi diriku bahwa aku ternyata juga butuh hibernasi.

Dua minggu ini, aku merelakan akhir pekanku untuk beristirahat karena badanku juga sedang tidak fit. Sebenarnya, akhir pekan adalah waktu yang sangat berharga untukku karena aku bisa melakukan banyak hal yang tak bisa ku lakukan pada hari kerja. Tapi, kali ini aku memilih untuk berhenti sejenak. Aku mencoba menghilangkan perasaan bersalah karena memilih untuk rehat. Aku tidak berangkat ke gym dan memilih untuk baca buku lebih lama setelah bangun tidur, aku menonton drama yang ingin ku tonton sejak lama namun selalu ku tunda karena heboh dengan jadwal yang telah ku susun, aku dengan sadar memilih tidur siang, aku berjalan-jalan dengan suamiku, dan berakhir mampir ke café favoritku untuk menulis. Ternyata, untuk menulis tetap harus aku lakukan karena ini menjadi bagian dari rehatku. Aku baru menyadari, tidak hanya Jakarta saja yang padat tetapi pikiranku selama ini juga sama padatnya. Makanya, segala hal menjadi ‘macet’ dalam otakku. Sulit sekali berpikir jernih dan lebih sensitif. Ya, sama seperti Jakarta, ketika macet orang-orang lebih sensitif mudah marah dan kusut. Mungkin ini yang terjadi dalam tubuhku. Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama?

Bersyukur aku diberikan sedikit sakit dua pekan ini, sehingga aku bisa rela ketika aku tidak melakukan apa-apa di akhir pekan. Berkat hal ini, aku merasakan kemacetan dalam otakku sedikit terurai. Sehingga, aku bisa berpikir lebih jernih untuk menata kembali langkahku. Ya, nggak ngapa-ngapain itu bukan berarti tidak melakukan apa-apa (karena sesungguhnya kita sedang menghimpun kembali tenaga yang telah habis). Sebenarnya, kita juga butuh recharge tenaga dengan rehat dan menurutku ketika kita sedang nggak ngapa-ngapain itu kita sedang ngapa-ngapain (nah lho). Intinya, jangan lupa untuk istirahat dan bersantai! Nggak apa-apa ambil waktu untuk santai. Seperti jalanan Jakarta, kalau lagi macet kita nggak akan bisa kemana-mana. Stuck. Tapi, kalau sudah lowong mau kemana-mana gampang bahkan jalanan yang tadinya nggak kelihatan karena tertutup ratusan kendaraan jadi terlihat jelas. Sama seperti tubuh dan pikiran kita, kalau sedang padat dengan berbagai macam hal jelas sulit untuk melihat sesuatu dengan jernih. Maka, perlu istirahat sejenak mengurai ‘kemacetan’ yang ada dalam diri kita. Setelah energi kita kembali, tentu semua hal akan terlihat lebih jelas.

Mengurai kemacetan itu nggak melulu harus dengan ngotot senggol sana sini untuk cepat sampai. Tetapi, bisa dengan berhenti sejenak biarkan arus menjadi surut dan lanjut jalan lagi, atau.. jalan pelan-pelan dengan sabar. Yaa.. meskipun pada akhirnya harus mundur selangkah, tapi setelah itu kita bisa melaju beberapa langkah dengan tempo yang mungkin lebih cepat.

Baiklah, mari akhiri tulisan ini disini, selamat beristirahat, guys ~

Jangan lupa bersantai <3

-Tantri DP-

 

Featured Image:

Photo by Roger Victorino on Unsplash